Congress approved the funding by a vote 395 to 8 on Friday, August 1, 2014 night. The Senate previously approved the measures unanimously before the start of a five-week summer recess. The next step awaits the signature of President Barack Obama.
"We can not wait a month or five weeks longer by not acting to help Israeli Iron Dome missile replenish the supply," said Sen. John McCain of Arizona, as quoted by CNN, Saturday (08/02/2014).
On Thursday night, Republican Senator Tom Coburn of Oklahoma blocked funds requested Iron Dome Defense Minister Chuck Hagel. The reason is because it is considered to add to the budget deficit the United States.
But McCain and Senator Lindsey Graham of South Carolina and then talk to Coburn --Of fiscal conservatives terkenal-- related crisis facing Israel.
McCain called on Congress and President Obama to approve the funding of Iron Dome to show Israel that it stood with them and give them what they need to defend themselves.
Iron Dome is a tool that uses radar, advanced tracking technology and anti-missile batteries to follow the trajectory of the incoming rocket or mortar fire into Israel. Tools that will determine whether the missile was headed to the major population centers or not.
If urban areas are threatened, interceptor tool to track and blow it up in the air near the missile. This system targets the short-range rockets with a range between 2 kilometers and 45 kilometers.
p Mati untuk Gaza
Wahyu Purnomo siap bertolak ke Gaza, Palestina yang bergolak. Meski
nyawa jadi taruhan. Pria yang akrab disapa Ipung itu bahkan telah
mendaftar di posko relawan Gaza di Masjid Gedhe Kauman pada Kamis 10
Juli 2014. Untuk jadi koki alias juru masak tanpa bayaran.
“Saya sudah niat. Wis (sudah) tekad bulat. Ya terserah orang bilang saya edan,” kata dia kepada Liputan6.com.
Ipung memang tak punya sertifikat chef, kursus saja tak pernah. Namun, pria kelahiran Yogyakarta 24 Maret 1982 itu mengaku, pengalaman menjadi relawan bagian dapur saat bencana Tsunami Aceh 2004, Gempa Yogya 2006, maupun erupsi Merapi tak boleh diremehkan. “Kalau disuruh masak, masakan saya jelas lebih enak dari istri saya,” kata dia, yakin.
Untuk mempersiapkan diri, Ipung sudah mencari referensi makanan khas Palestina. “Apa yang bisa saya masak, ya itu yang akan saya lakukan. Seperti roti gandum, tongseng kambing, itu saya bisa. Kebab kita bisa pakai gandum. Nanti juga saya kenalkan makanan khas Yogya atau Indonesia, oseng-oseng misalnya. Kalau nggak mau mereka, ya akan bikin khas sana saja,” kata dia.
Bapak beranak dua itu bahkan mengaku, keluarga sudah merelakannya pergi. Termasuk sang istri, bahkan kantor tempatnya bekerja. “Prinsip saya kemanusiaan. Kalau ada apa-apa di sana itu nanti jadi jihad saya,” kata pria yang pernah jadi sopir mobil jenazah selama 3 tahun itu.
Relawan lainnya yang juga mendaftar pada tempat dan waktu sama adalah Irwan. Namun namanya tercatat sebagai tim medis di Gaza nanti. Meski tak punya latar belakang sebagai paramedis.
Irwan mengaku mendapat ilmu dari pengalaman, juga pelatihan medis dari Palang Merah Indonesia (PMI). “Pernah pengalaman jadi relawan di Poso, Ambon, Merapi dan gempa Yogya,” ujar dia.
Amputasi dengan Gergaji Kayu
Menjadi relawan di Tanah Air tentu saja berbeda dengan di wilayah konflik seperti Gaza. Hal itu dipahami benar oleh pendiri Mer-C, Joserizal Jurnalis.
Kali pertama ia masuk ke wilayah padat yang diblokade itu 6 tahun lalu. "Dua minggu di Mesir nunggu dulu sebelum ke Gaza. Sebelum gencatan sejata, 2-3 hari, baru diperbolehkan masuk ke kawasan itu," ungkapnya mengenang kala itu.
Berada di medan perang seperti itu, ujar Jose, tentu saja harus siap dengan kondisi serba kekurangan saat mengobati korban. "Pasti kondisi gitu kurang semua-semua. Ya peralatan medis, obat-obatan, tapi harus siap," katanya.
Untuk mengakalinya, beber Jose, semua korban diobati terlebih dahulu dengan alat dan obat seadanya.
"Pasien yang gawat, distabilkan dulu. Baru kami kirim ke luar. bisa dikirim rumah sakit keluar Gaza, atau di Rumah Sakit Sifa," ungkapnya. "Itu saya pertama kali ke Gaza," kenangnya.
Dalam mengobati para korban di lokasi konflik, sambung Jose, tentu saja banyak hal-hal mengerikan.
"Di Maluku saya pernah memotong tulang (mengamputasi) korban dengan gergaji kayu, sedangkan di Gaza ngobati orang-orang yang terkena mortir," kata alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
"Yang terparah yang pernah saya tangani adalah anak kecil di Gaza. Dari panggul ke paha robek, somplak-somplak. Sudah dibius mau dioperasi. Tapi tak terselamatkan," rincinya mengingat dirinya masa itu berada di medan perang.
Pria kelahiran Padang, Sumatera Barat itu mengungkapkan banyak yang trauma akibat bom-bom Israel. "Mengerikan," ujar dia.
Dampak Konflik di Gaza
Bapak dari 3 orang anak ini mengungkapkan, rakyat Gaza benar-benar menderita dengan kondisi konflik seperti itu.
"Saat kondisi perang mereka ketakutan. Apalagi anak-anak. Cuma kan mereka ini punya orangtua dan ibu yang kuat," paparnya.
"Jadi mereka mendidik anak-anak dengan kuat, berani, sabar dan tahan. Faktor keluarga, dan belajar agama," jelas dia.
Kalau tak ada perang, anak-anak itu juga melakukan aktifitas seperti biasa. "Ya bermain dan berkumpul bersama anak-anak," tuturnya.
Usaha orang-orang yang turut serta meringankan penderitaan warga Gaza pun terpampang di Facebooknya. "Kaleng yang dipakai Amora untuk galang dana di kompleknya. Amorita (kelas 5 SD berinisiatif sendiri tanpa sepengetahuan ayahnya) menggalang dana untuk Gaza dengan keliling komplek," tulis Jose, disertai foto anak perempuan berkerudung berhati mulia itu.
"Perkumpulan tukang pulsa dan dari gereja sumbang Rumah Sakit Indonesia Gaza sebanyak Rp 38 jutaan. Mereka juga bantu counter isu fitnah terhadap MER-C," demikian tulis Jose menginformasikan bantuan lainnya.
- See more at: http://news.liputan6.com/read/2081233/zionis-obama-dan-tanah-3-agama?p=2#sthash.DenL0dDC.dpuf
“Saya sudah niat. Wis (sudah) tekad bulat. Ya terserah orang bilang saya edan,” kata dia kepada Liputan6.com.
Ipung memang tak punya sertifikat chef, kursus saja tak pernah. Namun, pria kelahiran Yogyakarta 24 Maret 1982 itu mengaku, pengalaman menjadi relawan bagian dapur saat bencana Tsunami Aceh 2004, Gempa Yogya 2006, maupun erupsi Merapi tak boleh diremehkan. “Kalau disuruh masak, masakan saya jelas lebih enak dari istri saya,” kata dia, yakin.
Untuk mempersiapkan diri, Ipung sudah mencari referensi makanan khas Palestina. “Apa yang bisa saya masak, ya itu yang akan saya lakukan. Seperti roti gandum, tongseng kambing, itu saya bisa. Kebab kita bisa pakai gandum. Nanti juga saya kenalkan makanan khas Yogya atau Indonesia, oseng-oseng misalnya. Kalau nggak mau mereka, ya akan bikin khas sana saja,” kata dia.
Bapak beranak dua itu bahkan mengaku, keluarga sudah merelakannya pergi. Termasuk sang istri, bahkan kantor tempatnya bekerja. “Prinsip saya kemanusiaan. Kalau ada apa-apa di sana itu nanti jadi jihad saya,” kata pria yang pernah jadi sopir mobil jenazah selama 3 tahun itu.
Relawan lainnya yang juga mendaftar pada tempat dan waktu sama adalah Irwan. Namun namanya tercatat sebagai tim medis di Gaza nanti. Meski tak punya latar belakang sebagai paramedis.
Irwan mengaku mendapat ilmu dari pengalaman, juga pelatihan medis dari Palang Merah Indonesia (PMI). “Pernah pengalaman jadi relawan di Poso, Ambon, Merapi dan gempa Yogya,” ujar dia.
Amputasi dengan Gergaji Kayu
Menjadi relawan di Tanah Air tentu saja berbeda dengan di wilayah konflik seperti Gaza. Hal itu dipahami benar oleh pendiri Mer-C, Joserizal Jurnalis.
Kali pertama ia masuk ke wilayah padat yang diblokade itu 6 tahun lalu. "Dua minggu di Mesir nunggu dulu sebelum ke Gaza. Sebelum gencatan sejata, 2-3 hari, baru diperbolehkan masuk ke kawasan itu," ungkapnya mengenang kala itu.
Berada di medan perang seperti itu, ujar Jose, tentu saja harus siap dengan kondisi serba kekurangan saat mengobati korban. "Pasti kondisi gitu kurang semua-semua. Ya peralatan medis, obat-obatan, tapi harus siap," katanya.
Untuk mengakalinya, beber Jose, semua korban diobati terlebih dahulu dengan alat dan obat seadanya.
"Pasien yang gawat, distabilkan dulu. Baru kami kirim ke luar. bisa dikirim rumah sakit keluar Gaza, atau di Rumah Sakit Sifa," ungkapnya. "Itu saya pertama kali ke Gaza," kenangnya.
Dalam mengobati para korban di lokasi konflik, sambung Jose, tentu saja banyak hal-hal mengerikan.
"Di Maluku saya pernah memotong tulang (mengamputasi) korban dengan gergaji kayu, sedangkan di Gaza ngobati orang-orang yang terkena mortir," kata alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
"Yang terparah yang pernah saya tangani adalah anak kecil di Gaza. Dari panggul ke paha robek, somplak-somplak. Sudah dibius mau dioperasi. Tapi tak terselamatkan," rincinya mengingat dirinya masa itu berada di medan perang.
Pria kelahiran Padang, Sumatera Barat itu mengungkapkan banyak yang trauma akibat bom-bom Israel. "Mengerikan," ujar dia.
Dampak Konflik di Gaza
Bapak dari 3 orang anak ini mengungkapkan, rakyat Gaza benar-benar menderita dengan kondisi konflik seperti itu.
"Saat kondisi perang mereka ketakutan. Apalagi anak-anak. Cuma kan mereka ini punya orangtua dan ibu yang kuat," paparnya.
"Jadi mereka mendidik anak-anak dengan kuat, berani, sabar dan tahan. Faktor keluarga, dan belajar agama," jelas dia.
Kalau tak ada perang, anak-anak itu juga melakukan aktifitas seperti biasa. "Ya bermain dan berkumpul bersama anak-anak," tuturnya.
Usaha orang-orang yang turut serta meringankan penderitaan warga Gaza pun terpampang di Facebooknya. "Kaleng yang dipakai Amora untuk galang dana di kompleknya. Amorita (kelas 5 SD berinisiatif sendiri tanpa sepengetahuan ayahnya) menggalang dana untuk Gaza dengan keliling komplek," tulis Jose, disertai foto anak perempuan berkerudung berhati mulia itu.
"Perkumpulan tukang pulsa dan dari gereja sumbang Rumah Sakit Indonesia Gaza sebanyak Rp 38 jutaan. Mereka juga bantu counter isu fitnah terhadap MER-C," demikian tulis Jose menginformasikan bantuan lainnya.
- See more at: http://news.liputan6.com/read/2081233/zionis-obama-dan-tanah-3-agama?p=2#sthash.DenL0dDC.dpuf